Cerpen : Sepucuk Kenangan Dari Cinta Pertama


                                                                MIRNA | Koleksi: RA | 2016


"MANUSIA hidup bukan dari satu waktu ke waktu lainnya, melainkan dari satu kenangan dan ingatan ke kenangan dan ingatan lainnya. Itulah mengapa manusia tidak pernah punah, meskipun tidak sebesar dan sekuat dinosaurus atau mammoeth bergading tiga."

Tiba-tiba saya teringat kata-kata tersebut, ketika saya bingung ingin melakukan apa sore itu. Karena tidak ada banyak pilihan yang bisa dilakukan ketika kau dikurung hujan deras dan hatimu sedang nelangsa. Terlebih bila kau baru saja bertengkar dengan kekasihmu dan berada seorang diri di sebuah kedai kopi. Maka mengenang dan mengingat adalah jalan keluar yang lumrah dilakukan.

Saya memilih duduk di sudut kedai yang terletak di Timur Jakarta itu, untuk sekedar menghindari lalu-lalang pengunjung dan keramaian. Selain itu duduk di sudut juga membuat saya bisa menikmati pemandangan hujan yang jatuh perlahan-lahan dari kaca jendela. Dan juga, dari posisi itu tangan saya tergerak menggurat pena di atas kertas dan mengolah imaji untuk menggambar sesuatu.

Sebelum pesanan cokelat panas saya datang, sebungkus rokok dan segelas air putih, yang disajikan barista kedai tersebut, menemani kesendirian saya. Saya terus menggoreskan pena di atas kertas—menggambar apa saya yang muncul di imaji saya, yang kerap tidak pernah saya bayangkan hasil gambar tersebut sebelumnya. Di saat itulah, kata-kata di atas menganggu pikiran saya.

Kemudian saya membawa memori kepala saya menapaki kenangan masa silam. Memori saya tiba di sana karena seminggu yang lalu saya sempat memimpikan seseorang selama 3 hari berturut-turut. Dalam mimpi itu, seorang perempuan menghampiri saya dengan senyuman manis dari bibirnya yang tipis kemudian mengucapkan kata ‘cinta’ berkali-kali, "Cinta-cinta-cinta-cinta-cinta-cinta…" ia mengucapkannya seperti melantunkan sebuah kidung untuk memuja sesosok dewa, namun saat saya ingin membalas kidung itu, dia pergi begitu saja tanpa sepatah kata dan tanpa menoleh ke arah saya. Dan kau tahu, saya merasa mimpi itu seperti pernah saya alami di kehidupan nyata. Mungkin 5 tahun yang lalu. Saya tidak yakin.

Mimpi itu membuat saya teringat perempuan cinta pertama saya—atau lebih tepatnya mengingatkan saya ketika kami memutuskan untuk saling jatuh cinta; "Jangan tegang, nikmati saja kehadirannya. Anggaplah kita masih muda dan kita baru saja memasukki fase remaja yang asyik nan dramatis. Aku senang bisa memiliki kamu—." Kira-kira begitu ucapannya, seingat saya. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya terdengar di telinga saya seperti kidung.

Saya harus cerita tentang perempuan cinta pertama saya kepadamu. Namanya adalah Mirna. Ia memiliki saudara kembar yang bernama Marni—keduanya kembar identik, sangat mirip, dan mereka memiliki banyak kesamaan, termasuk selera lelaki idaman. Tapi yang membuat saya tidak pernah tertukar antara Mirna dan Marni adalah tahi lalat yang berada di ujung kiri alis matanya. Tahi lalat itu lumayan besar, mungkin sebesar tahi kambing, dan berbentuk seperti bulan sabit. Ketika saya bertemu dengan Mirna hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek tahilalat itu. Karena saya tidak mau tertukar—Marni sudah memiliki pacar yang seorang tentara, dan saya tidak mau punya urusan dengan seorang tentara.

Mirna adalah sosok wanita yang lugu, jujur, baik, jika kami bertemu, dan ia tahu bahwa saya sedang mengecek tahi lalatnya, maka ia berujar, “Ini Mirna, pacarmu yang manis.” Ia memang manis, terlebih jika tersenyum. Juga berpendirian keras, jika tidak bisa disebut sedikit egois.

Mirna selalu ada di benak saya—banyak peristiwa yang telah kami lalui bersama, meskipun kami terhitung sebentar bersama dalam ikatan hubungan, tidak lebih dari 1 tahun—walau kami sudah bersama-sama sejak masa kanak-kanak. Itu lebih sebentar bila dibandingkan dengan hubungan saya dengan kekasih yang sekarang yang sudah berjalan 3 tahun lebih.

Kau tahu, sebagaimana kekasih yang baik saat menjalani sebuah hubungan, sudah 5 tahun saya tidak melakukan hubungan dengannya. Mungkin karena Mirna adalah cinta pertama yang mengajarkan saya banyak hal, sehingga saya tidak pernah benar-benar bisa melupakannya, meskipun saya sudah merajut hubungan dengan orang lain. Bahkan apa yang saya lakukan hari ini, baik perihal hubungan maupun bukan, terdapat banyak pengaruh Mirna di dalamnya.

Saya dan Mirna memulai hubungan sejak tahun kedua di bangku kuliah. Kami berkuliah di Universitas yang sama, hanya saja berbeda jurusan. Saya mengambil jurusan Sastra Bahasa Indonesia, sedangkan Mirna mengambil jurusan Ilmu Psikologi. Sebenarnya, kami adalah teman sejak kecil. Lebih tepatnya kami bertetangga. Ditambah lagi Ayah Mirna adalah atasan almarhum mendiang Bapak saya di salah satu perusahaan swasta di Bandung. Tentu saja hal itu mendekatkan kami, meskipun tidak langsung.

Dan karena kedekatan itulah, saat saya memberanikan diri untuk menyatakan perasaan saya untuk pertama kalinya di stasiun kereta sepulang kuliah kepada seorang perempuan yang saat itu saya yakin benar-benar jatuh cinta, dia menertawai kegugupan saya. Bagi Mirna, kedekatan kami bukanlah alasan untuk menjadi canggung, selagi saling mencintai kenapa tidak dinikmati saja kehadirannya. Kemudian Mirna mendekat, dia berbisik genit, "Tenanglah sedikit. Aku juga memiliki rasa yang sama denganmu, sayang." Sembari menyandarkan kepalanya di bahu saya. Mendengar bisikkannya saya hanya tersenyum kecut sedikit tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Melihat raut wajah saya, Mirna menggenggam tangan saya seolah meyakinkan saya bahwa dia sudah pasti jatuh ke pelukkan saya.

Kemudian saya ingat bagaimana kebiasaan Mirna terhadap saya saat bulan puasa. Setiap selesai shalat Tarawih di mushala yang letaknya tidak jauh dari rumah kami, saya selalu menyempatkan diri untuk bertadarus sampai tengah malam. Saat saya di tengah tadarus itulah Mirna selalu datang menemui saya untuk sekedar memberi sepiring kue dan segelas kopi, katanya untuk menemani saya secara simbolis.

Setelah memberikan makanan, saya ingat, Mirna berkata, "Cepat selesaikan tadarusmu yaa, calon imamku." Setelah mengucapkan kalimat itu, Mirna pamit dan berlalu begitu saja, saya hanya tersenyum tidak banyak bicara dan tidak tahu itu benar-benar diucapkannya dengan setulus hati atau sekedar mengejek saya. Mirna memang lugu dan menggemaskan.

Kebiasaan lainnya yang mengingatkan saya tentang Mirna adalah ketika ia menyindir pasangan muda-mudi yang selalu naik sepeda motor dalam berpergian. Ketika itu kami pergi ke bioskop naik angkutan umum. Mirna melihat pasangan muda-mudi naik sepeda motor, lalu Mirna bilang, "Halah, apa sih enaknya naik motor? Bertatap wajah saja susah, kadang untuk ngobrol juga harus sedikit berteriak agar terdengar. Naik motor itu seolah dekat tapi jauh. Payah."

Mendengar ucapannya saya menampar pelan mulutnya dengan punggung telapak tangan sambil tertawa, seperti ibu yang menampar pelan mulut anaknya ketika sang anak mengucapkan kata yang seronok. Kemudian Mirna membalas dengan mencubit pinggang saya. Pedas. Kemudian kami tertawa, dan penumpang yang lain menatap sinis ke arah kami.

Bagi Mirna, naik angkutan umum adalah hal wajib yang harus dilakukan saat dia ingin berpergian dengan saya—karena, menurutnya, saat di dalam angkutan umum kami bisa berbagi cerita, bertukar pikiran, dan bersenda gurau—hal remeh-temeh yang sangat diperlukan dalam sebuah hubungan. Menurutnya, dengan begitu kami bisa bertatap wajah sehingga tidak ada kebohongan—wajah adalah cermin dimana kebohongan atau kejujuran itu tampak. Dan jujur saja, naik angkutan umum masih menjadi favorit saya sampai hari ini, termasuk dengan kekasih saya yang sekarang.

Mirna adalah perempuan yang saya anggap sahabat, adik, ibu, dan kekasih yang unik yang pernah saya kenal. Saya selalu tersenyum jika mengenang seorang Mirna. Keluguannya, kejujurannya, dan spontanitasnya masih terbayang di pikiran saya. Namun, hari-hari yang kami lalui dengan indah dan menyenangkan itu berubah menjadi hampa saat Mirna meninggalkan saya tanpa sepatah kata—atau lebih tepatnya tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya langsung. Saya ingat betul, saat itu saya baru pulang mengajar, ibu Mirna datang ke kontrakkan saya dan membawa sepucuk surat dari Mirna—ini yang pertama kalinya (dan tentu saja terakhir kalinya) ia menuliskan surat di sebuah kertas, yang biasanya bila ada hal yang ingin dibicarakan ia menulisnya melalui surat-e atau bila ada kesempatan ia akan mengajak saya bertemu dan kemudian bercerita—saya kikuk melihat ibunya datang dan menyodorkan surat itu. Ibunya tidak banyak berkata, beliau hanya meminta maaf sambil menitikkan air mata dan kemudian pamit pulang.

Saya penasaran apa isi suratnya: mengapa Mirna menulis surat, mengapa nomor selulernya tidak aktif, apa penyakitnya kambuh, apakah orang tuanya kembali berkelahi, apa kembarannya kembali dipukuli pacarnya yang tentara, apa Mirna dipecat dari tempat kerjanya, apa.. mengapa… dan setumpuk pertanyaan lain di kepala saya saat memegang surat itu.

Saya sempat ragu untuk membuka surat dengan amplop coklat itu. Tapi akhirnya saya membukannya juga—itu lebih karena alam bawah sadar saya yang terus mencari-cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kepala saya.


“Romi yang kucintai.



Pria, Sahabat, Kakak, Ayah, dan Kekasih terbaikku.



Rom, surat ini sengaja aku tulis sebagai permintaan maafku karena pergi tanpa berpamitan denganmu sebelumnya. Di balik kepergianku yang tiba-tiba ini, percayalah, aku tidak pernah sama sekali berniat untuk meninggalkanmu atau bahkan menggurat luka di hatimu. Tapi, aku harus melanjutkan studiku, Rom. Aku akan pergi ke Jepang hari ini. Tentunya kau tahu kan bahwa kuliah di Jepang adalah keinginanku, sebagaimana yang pernah kuceritakan padamu dan kamu agak tersedu mendengarnya—katamu: ‘Aku senang tapi juga merana, sayang, entah mengapa…’.Aku pun merana, Rom. Mana ada perpisahan yang menyenangkan, yang membahagiakan?


Romi, saat kau membaca surat ini—maaf aku mesti menuliskan surat ini di kertas bukan melalui surat-e, karena kuingin setelah kamu usai membacanya, segeralah bakar surat ini dan anggap kau tidak pernah membaca apa yang kutulis ini—aku tahu kau kecewa. Aku mengerti kemarahanmu, Rom.

Tapi, satu hal yang harus kau tahu. Aku selalu mencintaimu, Rom. Menatap wajahmu saat kita bersama adalah sebuah kebahagiaan untukku—dan itu akan selalu kusimpan baik-baik dalam lembaran hidupku. Tapi, menatap wajahmu untuk mengucap perpisahan, sungguh itu adalah hal yang tidak akan dan tidak ingin aku hadapi—dan aku akan menghilangkan dari lembaran itu. Menatap wajahmu untuk sebuah perpisahan terlalu menyayat hatiku, Rom.

Rom, Sayangku, pada akhirnya aku hanya berani mengucapkan perpisahan melalui sepucuk surat ini—yang harus segera kau bakar seusai membacanya, bila tidak ada jejak yang tertinggal untuk hal yang tidak menyenangkan ini. Aku senang sempat memilikimu dan aku senang memiliki cinta pertama sepertimu dan menjadi cinta pertama pula untukmu—sebuah kemewahan yang amat jarang dimiliki orang, bahkan seperti katamu, Shakespeare pun mungkin tidak terbayang kisah seperti ini.

Terimakasih untuk selalu berada di sampingku, Rom. Perpisahan ini bukanlah akhir. Aku selalu menganggap dirimu sebagai laki-laki terbaik setelah ayahku, yang pernah singgah dihatiku. Semoga.

Tapi, seperti kata pengarang itu yang pernah kau bisikkan di telingaku saat kita di angkutan umum menuju Curug Panjang, ‘Tuhan tahu, tapi menunggu…’”

28 Juli 2007


Salam
-Mirna-


Kau tahu, saya tidak pernah membakar surat itu, sebagaimana yang diminta Mirna. Surat itu selalu tersimpan baik di dompet saya. Memang surat itu adalah hal yang menyakitkan yang pernah saya rasakan—dan karena itulah saya tidak akan pernah membakarnya, sebab hidup akan selalu menunjukkan kepada kita bahwa banyak hal yang teramat menyakitkan ketimbang akhir sebuah hubungan.

Saya merana dan kecewa, tentu saja. Namun saya harus mengerti bahwa apa yang Mirna lakukan adalah untuk kebahagiaan kami. Mungkin ia tidak ingin meninggalkan saya dengan uraian air mata—dan itu hal yang keliru, karena saat membaca surat itu pertama kalinya saya menangis seperti bocah yang ditinggal mati bapaknya, dan kau tahu, saya sering membaca surat itu bila saya sedang nelangsa, agar saya ingat hidup memang bergerak dari satu nelangsa ke nelangsa lainnya. Karena itulah saya mengerti kehidupan harus terus berlanjut, baik dengan atau tanpa Mirna sekalipun.

Dari kejauhan, doa saya selalu mengalir untuknya, karena bagaimana pun Mirna adalah cinta yang tidak lagi saya temui. Entah sampai kapan. Kau tahu, kau boleh jatuh cinta dan merajut hubungan seribu kali, tetapi cinta sejati hanya bisa kau rasakan satu kali—dan sial, bila kau berkeluarga bukan dengan cinta sejatimu, meskipun rumah tanggamu baik-baik saja.

Asyik menggambar—dan gambar yang tampak di kertas adalah wajah seorang perempuan dengan tahi lalat di alis kirinya, tapi itu bukan wajah Mirna, sebab wajah itu mengenakan kacamata dengan bibir yang tipis dan mengenakan kerudung yang necis—yang mirip wajah kekasih saya yang sekarang. Saya lupa akan cokelat hangat yang sudah saya pesan. Cokelat itu sudah menjadi dingin seperti perasaan saya kepada Mirna, mungkin. Saat saya menyeruput coklat yang sudah dingin. Barista kedai tersebut meledek saya dengan mengatakan bahwa saya seperti seorang laki-laki yang kehilangan gairah karena ditinggal mati oleh kekasihnya. Rupanya ia memerhatikan saya sedari tadi, dan melihat goresan gambar saya di atas kertas itu.

“Urip iku mung mampir ngombe, Cuk!” kata barista brengsek itu kepada saya melihat saya meneguk cokelat hangat saya yang sudah dingin.


"Asu!", sahut saya dalam hati.



Cibinong, September 2016
Oleh: Revi Alamsyah, Guru yang belum S. Pd.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Tulis Komentar Kalian

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel