KRISIS UKRAINA 2014: BEREBUT KEPENTINGAN ANTARA RUSIA DENGAN NEGARA-NEGARA BARAT



“Ukraina merupakan pecahan Uni Soviet terbesar kedua setelah Rusia. Keruntuhan Uni Soviet bukan berarti menandakan “Perang Dingin” benar-benar berakhir. Setelah beberapa tahun pasca Perang Dingin, langit Ukraina kembali kelam. Perang Dingin kembali tersaji, tuding-menuding antara pihak Rusia dengan Uni Eropa tidak terelakkan. Bahkan, pihak Rusia tidak segan-segan menyebutkan bahwa Ukraina di ambang perang saudara akibat dorongan dari pihak barat, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat. Ukraina seperti lubang jarum yang sedang coba dimasukki oleh dua benang jahit, yaitu Rusia dan Barat.”

Awal Mula Krisis Ukraina

Sebelum kita membahas krisis Ukraina yang terjadi belakangan ini, mari kita masuk ke ruang dimensi masa lalu dimana sebelumnya Negara Ukraina adalah suatu wilayah bagian dari Republik Federal Sosialis Soviet.
Pada masa Perang Dunia II, Ukraina merupakan wilayah bagian dari Uni Soviet yang menjadi kompetitor utama Amerika Serikat sebagai Negara adidaya. Pada saat itu, Uni Soviet memiliki pangkalan laut di wilayah Krimea, tepatnya di kota Sevastopol. Setelah pecahnya Uni Soviet, Armada laut Rusia masih menjadikan Sevastopol sebagai pangkalan laut strategis.
Pada tahun 1948, Sevastopol mendapatkan status kota istimewa yang diberikan oleh Pemerintah Uni Soviet. Puncaknya adalah di tahun 1954, yaitu pemberian wilayah Krimea dan Sevastopol secara sepihak kepada Ukraina oleh pemimpin Soviet saat itu, Nikita Khrushchev yang masih memiliki kekerabatan etnis Ukraina, dan Khrushchev beranggapan bahwa pemberian wilayah tersebut dapat dijadikan suatu momentum terjalinnya kekerabatan antara Ukraina dengan pemerintah pusat.
Pada tahun 1990, Ukraina melepaskan diri dari Soviet sebagai Negara merdeka dan Krimea menjadi bagian dari Ukraina. Rusia kemudian mengadakan suatu perundingan persahabatan antara Moskow dan Kiev di tahun 1997, dimana Rusia mengakui Sevastopol sebagai bagian dari wilayah Ukraina, dan sebagai balasannya Ukraina mengizinkan Sevastopol untuk menjadi pangkalan laut bagi armada Rusia sampai 2017. Tidak sampai disitu, pada tahun 2010, Rusia kembali memperpanjang masa pangkalan lautnya di Sevastopol sampai 2042 yang ditandatangani di wilayah Kharkiv. Sebagai imbalan bagi Ukraina, Rusia harus menggelontorkan dan US$ 98 juta per tahun dan memberikan potongan harga gas kepada Ukraina sebesar US$ 100 per ton. Rusia mau tidak mau harus melakukan hal tersebut, karena pelabuhan Novorossiysk di Rusia sendiri tidak memadai sebagai pangkalan armada laut Rusia.
Masuk kepada topik pembahasan dimana krisis di Ukraina sendiri bermula dari keputusan mengejutkan Presiden Viktor Vanukovych pada November 2013 yang membatalkan perjanjian European Association Agreement dan kemudian lebih memilih untuk merapatkan hubungan dengan Rusia yang kemudian memicu kemarahan masyarakat Pro-Barat sehingga mereka merencanakan suatu demonstrasi.
Awalnya, demonstrasi ini berjalan damai. Akan tetapi, aksi ini berubah menjadi brutal setelah penyerangan dan penahanan yang dilakukan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa diabadikan dan kemudian disebarluaskan sehingga meningkatkan dukungan publik untuk melakukan demonstrasi yang lebih besar. Memasukki bulan Desember, aksi semakin menjadi-jadi. Banyaknya masyarakat turun ke jalan-jalan di wilayah Kiev untuk menuntut Presiden Yanukovych agar turun dari jabatannya sebagai presiden Ukraina.
Puncaknya, meletuslah Revolusi Ukraina pada tahun 2014 yang berujung pada jatuhnya Presiden Yanukovych dari kursi nomor wahid Negara Ukraina. Hal ini merupakan awal dari transisi politik Ukraina sekaligus keberhasilan European Strike Back, atau gerakan basis Pro-Barat.
Mengetahui bahwa Ukraina mendekatkan diri dengan Barat dan akan bergabung dengan Uni Eropa, Rusia pun melakukan pendekatan dengan Ukraina. Pendekatan ini dimaksudkan karena Rusia hendak membentuk pakta ekonomi saingan dari Uni Eropa. Ukraina sendiri pun merupakan negara terbesar di kelompok Eurasia dan Ukraina membutuhkan pasokan gas dari Rusia. Oleh karena itu, sejak November 2013, Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengirimkan pasukan militernya sebanyak 16.000 tentara ke Semenanjung Crimea. Pasukan militer ini telah menguasai semua pusat pemerintahan Ukraina dan juga gedung Parlemen sehingga membuat militer Ukraina tidak mampu bergerak sedikit pun.
Pada akhirnya, wilayah Ukraina terbagi ke dalam dua kubu, Barat dan Timur. Bagian Barat dan utara adalah wilayah yang Pro-Ukraina dan Pro-Barat sedangkan dan bagian timur dan selatan merupakan wilayah Pro-Rusia yang mayoritas wilayahnya didiami oleh etnis Rusia.

Berbagai pemberontakan pun terjadi, salah satu yang terbesar adalah Perang Donbass di wilayah Timur Ukraina. Pemberontakan ini melibatkan militer Ukraina menghadapi pasukan sipil pro-Rusia. Tak ayal, banyak korban berjatuhan dari berbagai pertempuran yang mencekam langit Ukraina baik dari militer, kubu pemerintah, kubu non-pemerintah, sampai warga sipil.

Ukraina Terjebak di dalam Kepentingan Rusia dan Negara-negara Barat

Ambruknya Uni Soviet dan Komunisme menjadi pemicu timbulnya perdebatan di kalangan orang-orang Rusia mengenai persoalan penting antara Rusia dan Barat. Hal itu juga menjadi akhir dari hubungan politis-ideologis antara Barat dengan Rusia.

Dalam krisis Ukraina, semua pandangan tertuju pada kekuatan dua blok. Timur dengan Rusia, dan Barat dengan Amerika Serikat (termasuk Uni Eropa dibaliknya). Bagaimana tidak? Perseteruan sengit antara dua blok ini seperti sudah mendarah daging. Jika kita tarik garis sejarah, kita menemukan Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pasca PD II dimana mereka sebagai Negara adidaya pada masa itu saling berebut pengaruh dari Negara-negara sekutu.

            Apa yang terjadi di Ukraina kali ini, dapat dikatakan sebagai babak baru Perang Dingin antara Rusia yang merupakan ex-Uni Soviet dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua pihak saling memiliki kepentingan strategis di Ukraina, bagi Rusia, Ukraina adalah mantan saudara lamanya ketika Uni Soviet masih harmonis. Di samping itu, Ukraina adalah Negara penyangga bagi Rusia. Federasi Rusia di bawah komando Vladimir Putin, sedang gencar membangun kembali kekuatan adidaya nya. Putin mencanangkan berdirinya Eurasian Union sebagai tandingan bagi Uni Eropa. Selain itu, dalam bidang ekonomi salah satu kebijakan Putin adalah melalui gas – gazprom, perusahaan gas Rusia. Dengan gazprom ini Rusia menjadi tonggak suplai gas bagi negara-negara di Eropa. Selain itu, Putin juga ingin memperkuat hegemoni Rusia dengan mengembalikan pengaruh kekuasaan di kawasan Eropa. Dengan kekuatan militer, senjata nuklir, dan sumber energi yang besar serta wilayah luas yang dimilikinya, Rusia berusaha memainkan peran dalam keseimbangan politik dan keamanan internasional yang sempat memudar. Akhirnya Putin pun mampu memulihkan harga diri Rusia dalam tempo yang cepat.

            Bagi Uni Eropa dan Amerika Serikat sendiri keberadaan Ukraina dapat menguntungkan dari sisi politik dan militer, bergabungnya Ukraina dapat membantu dan membendung pengaruh Rusia di Eropa karena Ukraina memiliki program nuklir. Dari sisi ekonomi, keberadaan Ukraina sangat vital bagi Uni Eropa. Mereka dapat mendayagunakan potensi Ukraina, salahsatunya adalah sumber gas yang melimpah dan dapat dimanfaatkan guna penanggulangan krisis ekonomi di Uni Eropa sekaligus sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat Eropa.

            Saling tuding-menuding mengenai siapa dalang di balik perang saudara Ukraina pun tidak dapat dihindarkan. Kubu Rusia menganggap bahwa Amerika Serikat terus mendorong Ukraina ke dalam perang saudara. Hal ini dinyatakan oleh Anatoly Antonov, wakil menteri pertahanan Rusia, Antonov menyebutkan bahwa Amerika Serikat dan NATO terus bergerak ke wilayah perbatasan Timur Ukraina. Antonov menuding, selain gerakan militer, penyebab terjadinya krisis Ukraina adalah akibat dari dukungan AS terhadap aksi demonstrasi penggulingan Presiden Yanukovych di Kiev sehingga mendorong terjadinya perang saudara di Ukraina. Antonov menyatakan, bahwa Rusia tidak akan mengadakan konfrontasi jika AS dan NATO tidak bergerak ke perbatasan. Rusia lebih mengutamakan jalur damai, melalui dialog dan kepatuhan terhadap perjanjian Minsk sehingga Ukraina mampu lepas dari krisis tanpa menelan banyak korban.

            Lain Rusia, lain pula Amerika Serikat. Amerika justru beranggapan bahwa ada intervensi Rusia dibalik krisis Ukraina. Menurut Duta AS di PBB, Samantha Power, terdapat keterlibatan Moskow dalam serangan kelompok bersenjata pro-Rusia di Ukraina Timur. Menurut Samantha, serangan yang telah memicu pertempuran senjata dengan pasukan khusus Ukraina merupakan hasil karya dari kelompok-kelompok milisi akar rumput, dan itu mengingatkannya dengan keterlibatan Moskow. Dia juga menambahkan, saat inilah waktunya menyampaikan solusi damai untuk mengatasi krisis dan mendesak Rusia agar bersedia mendengarkan suara 14 anggota Dewan Keamanan dan rakyat Ukraina.

Apa yang terjadi di Ukraina baru-baru ini tidak lepas dari peristiwa historis. Sebagai pecahan dari sebuah sentral komunis terbesar dunia (Uni Soviet). Tentu saja membuat Ukraina secara tidak langsung berada di dalam bayang-bayang Rusia.

            Posisi tersebut membuat kubu Barat merasa terancam. Pasalnya, Ukraina adalah Negara strategis bagi Barat dalam membendung agresi Rusia di Eropa. Atas hal tersebut, maka kedua blok (yang sejatinya hanya tinggal satu) yakni Rusia dan Amerika Serikat (plus Uni Eropa) saling berebut kepentingan di Ukraina.

            Dalam tulisan Samuel P. Huntington di dalam bukunya, “Benturan Antar Peradaban”, disebutkan bahwa Ukraina adalah bagian terpenting sebagai Republik bekas Uni Soviet dan paling banyak penduduknya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian kemerdekaan kepada Ukraina pada tahun 1917 (meskipiun secara politik tetap berada di bawah naungan Moskow) dan pemberian Semenanjung Krimea pada 1954 oleh Presiden Khrushchev.

            Hubungan historis tersebut berlangsung sampai saat ini. Pada 2014, Presiden Yanukovych merapatkan Ukraina ke dalam barisan Pro-Rusia. Pro-Kontra terjadi akibat tindakan sang Presiden. Masyarakat yang Kontra mengadakan demonstrasi secara besar-besaran yang menyebabkan terpecahnya Ukraina. Dalam buku “Benturan Antar Peradaban”, perpecahan ini disebutkan sebagai bentuk dari memburuknya hubungan Rusia dan Barat karena Barat kembali memasuki kehidupan Negara Ukraina yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet.

            Bagaimanapun juga, krisis yang terjadi di Ukraina saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh dua blok sentral dunia. Yaitu Barat (Uni Eropa-AS) dan Rusia. Hal ini disebabkan oleh posisi sentral Ukraina yang sangat berpengaruh bagi kedua belah pihak. dan Krisis Ukraina yang terjadi pada 2014 lalu merupakan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi akibat kepentingan suatu negara. Demi melebarkan kekuasaanya. Masalah tersebut meruapakan hal yang wajar terjadi dalam dunia Internasional. []

Cibinong, 27 Februari 2018

Sumber Terkait
  1. P. Huntington, Samuel. Benturan Antar Peradaban. Yogyakarta: Penerbit Qalam. 2002
  2. Journal Issue: Vol.1/No.01/6 March,2014
Cibinong, 27 Februari 2018

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Tulis Komentar Kalian

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel